Seorang mukminah yang satu ini bernama Khaulah binti Tsa`labah. Ia adalah seorang wanita yang cerdas dan fasih dalam bertutur kata. Ia menikah dengan Aus bin Shamit, saudara dari Ubadah bin Shamit yang ikut serta dalam perang Badar, perang Uhud serta pada beberapa perperangan lain yang disertai Rasulullah saw.
Rabu, 30 Mei 2012
Minggu, 27 Mei 2012
Engkau Masih Bersayap...
Kulihat sekitar, alam masih hijau,
Udara masih segar,
Bunga masih mekar...
Goresan Tinta Untuk Keluargaku...
Sebuah puncak telah terlewati.
Fiuhhhh,,,,satu kata. L E G A J
Bagaimana tidak?? Setelah berbulan-
bulan menyiapkan acara ini dengan bermacam-macam bumbu yang aduhai lengkapnya,
sampai cerobong dapur mengepul berasap hitam, kini semua telah mulai untuk
kembali tetap berasap, dan emmmm, mungkin lebih baik jangan terlalu hitam deh asap
cerobong dapur ini. Tar jadi blentong-blentong donk, wuaaaa...
Ada rasa haru, marah, sebel, bahagia,
kangen. Pokoknya sudah jadi gado-gado Bu Warni deh kalau dimasak (ahaha, efek
sering nemenin Simbok Fair ke warung favoritnya).
Haru.
Tentu saja aku merasa haru. Melihat
perjuangan benih-benih hijau yang super duper semangat berkontribusi memberikan
yang terbaik untuk keluarga ini. Malam yang seharusnya digunakan untuk membuat
laporan praktikum, belajar ujian, menyelesaikan tugas besar, bahkan malam yang
seharusnya untuk istirahat, rela mereka sedekahkan untuk sebuah persembahan
luar biasa. Tidur bertemankan nyamuk-nyamuk Lembah Teknik tanpa selimut,
bermalam di lantai 4 PUSKOM untuk memburning 200 keping CD, lembur tiap hari
hingga jam 02.00 untuk mengurus sertifikat, sempoyongan mencari-cari sebuah tanda-tangan,
berkoar-koar publikasi dari satu bimbel ke bimbel lain, menyapu lembah teknik
hingga jam 22.00, bermalam di tempat yang penuh aura mistis dan jauh dari akses
warga , sempoyongan bolak-balik demi mencari sesuatu pengganjal perut,
angkat-angkat sofa naik turun tangga hingga 4x, menghabiskan banyak pulsa untuk
mencari massa sebanyak mungkin, bahkan mungkin rela diceramahi habis-habisan
karena masih polosnya mereka, dan entah apa lagi yang telah mereka dedikasikan
untuk keluarga ini. Aku tak sanggup lagi untuk menyebutkannya satu per satu.
Marah.
Tentu saja aku merasa marah, marah
pada diriku sendiri. Melihat semangat benih-benih yang begitu membara, mengapa
kadang masih muncul sedikit rasa lelah dan malas untuk beranjak menemani
mereka. Terkadang masih ada ego dalam diri yang tak bisa kukendalikan. Ya, aku
hanyalah manusia biasa. Namun, aku hanya ingin menebus kesalahanku dengan
segenap kemampuanku. Menemani mereka hingga malam, memberikan mereka motivasi,
mencarikan pengganjal perut untuk teman bermalam. Yah, mungkin yang sedikit ini
tidak ada artinya dibandingkan dengan perjuangan keras mereka.
Sebel.
Aku pun sebel dengan diriku
sendiri. Mengapa di saat mereka butuh bantuan, butuh teman, butuh sumber daya-
sumber daya yang lain, aku belum bisa menghadirkannya. Aku belum mampu untuk
menggerakkan semuanya. Mungkin aku hanya bisa menghjadirkan beberapa. Namun,
aku yakin, yang beberapa ini adalah para pejuang yang takkan pernah dilupakan.
Sekecil apapun apa yang mereka berikan, sangatlah berarti untuk sebuah
persembahan luar biasa. Tak ada yang tak berguna, sekecil apapun itu. Mereka
semua adalah pejuang yang sungguh LUAR BIASA.
Bahagia.
Melihat senyum mereka, canda tawa
mereka, seakan mengobati semua lelah, semua penat yang kurasakan. Semua kerja
keras yang telah dilakukan, hingga sampai timbul beberapa konflik-konflik
kecil, Perang Padri jilid II, konspirasi terselubung, dan entah hal ‘lucu’
apalagi yang mungkin sampai sekarang belum terungkap, terbayar dengan
keberjalanan acara yang menarik dan menyenangkan. Mungkin awalnya benar-benar
manggoncang hati dan otak hingga benthet-benthet mau pecah, tapi Allah begitu
sayang pada kami. Selalu ada sesuatu tak terduga yang Ia kirim untuk
menyelamatkan kami. Sesuatu yang mendorong pita suara kami untuk selalu
mengucapkan Alhamdulillah.... Subhanallah.... berulang kali. Sungguh indah jika
diresapi dan dirasakan dari segenap hati.
Kangen.
Ya, kata yang sulit
kuungkapkan. Memutar memori dari awal
hingga detik ini, mengenang semua perjuangan hebat, mengenang wajah-wajah
yang...ah, tak akan rela jika aku sampai lupa wajah-wajah tulus mereka. Selalu
muncul pertanyaan dalam hati, “Akankah aku masih melihat wajah-wajah tulus itu
setelah moment ini? Akankah aku masih bisa bercanda bersama mereka lagi setelah
ini? Akankah aku masih bisa ‘dijothaki’ mereka lagi setelah ini? Mungkinkah
setelah ini mereka akan meninggalkan kami? Atau mungkinkah kami yang sudah tak
bisa membersamai mereka lagi?”
Ini bukanlah hubungan antara
atasan-bawahan, bukan juga hubungan antara pengurus dengan non-pengurus. Ini
adalah hubungan antarteman, antarkawan, antarsahabat. Ah...tidak. Tidak, bukan,
ini adalah hubungan antara anggota keluarga. Ya,,, keluarga SIM (Studi Ilmiah
Mahasiswa), keluarga para panitia FILM XII (pengurus dan non-pengurus), serta
keluarga semua pihak yang telah membantu kesuksesan acara Festival Ilmiah Mahasiswa
XII SIM UNS. Berawal dari sebuah senyum dan semangat yang tinggi, berakhir pula
dengan senyum dan semangat yang jauh lebih tinggi lagi. Tidak bisa disangkal
pula, bukan tidak mungkin setelah ini akan dilanjutkan dengan senyum dan
semangat yang sangat sangat jauh jauh jauh lebih tinggi lagi. Lebih tulus
lagi...
Terima kasih untukmu, keluargaku....
Harapan besar, semoga apa yang
telah dilakukan selama ini menjadi salah satu dari pemberat amal kita di
akhirat kelak. Amin Ya Rabb, Engkau Yang Maha Mengetahui...
Bersama “My Love_Westlife”
dalam Rumah
Mawaddah, Surakarta
Label:
Festival Ilmiah Mahasiswa,
Keluarga,
SIM UNS
Selasa, 15 Mei 2012
Ndhuk,,,
cobalah untuk lebih dewasa lagi..
Tajamkan pandanganmu lurus ke depan!!
Tanggung jawab, amanah....
Label:
kedewasaan,
tanggung jawab
Lokasi:
Surakarta, Indonesia
Senin, 14 Mei 2012
Pilihan...
Tak bisa menyalahkan siapapun...
Karena tak bijak rasanya jika hanya mencari siapa yang patut disalahkan...
Ya, saya yang salah, jika memang harus ada yang disalahkan...
Mengapa harus dibuat pusing oleh sesuatu yang sebenarnya telah tertulis dengan jelas??
Mengapa harus memaksakan sesuatu yang nantinya akan berjalan sendiri sesuai dengan alur mainnya??
Kapan diri ini akan bijak dan lebih tegas??
Hanya diri ini yang patut dan memang harus bisa menjawabnya...
Luruskan selalu niat ini...
Terkadang memang goyah, akan tetapi kuatkanlah kembali...
Ingatlah wajah-wajah penuh harap mereka...
Hidup adalah sebuah pilihan ...
Bagaimana hidupmu tergantung dari pilihan yang kamu ambil...
Bismillah, kuatkanlah hati dan iman ini...
Berikan yang terbaik menurut Engkau untuk kami...
Aku yakin, janjiMu tak akan pernah salah...
Lokasi:
Jebres, Surakarta, Indonesia
Senin, 20 Februari 2012
Gelisahmu, Ibu....
Malam ini, sekitar pukul 19.45 WIB, handphoneku berdering. Nada dering Mother dari Seamo pun terdengar begitu riang dan penuh semangat bagiku.
M Waluyo M3 is calling...
Suasana anak-anak kos yang sedang menikmati camilan setelah berbuka, sampai dianggap seperti pasar bubrah, kata masku, aku pun tertawa dibuatnya. Sambil mengajari Dek Esti tentang limit dalam Matematika, aku pun ngobrol dengan mas yang sangat perhatian dengan keluargaku ini.
Tiba-tiba, ia mengatakan , " Iki, ibu meh ngendika dik..."
"oh ya mas,,", jawabku.
"Hallo, assalamu'alaykum..."
"Wa'alaykumussalam,,,,piye saiki Dik? Wis mari durung...?"
"Alhamdulillah Bu,,,Amrih pun mboten napa-napa kok,,Ibu pripun..."
Selanjutnya, hanya isak tangis tersembunyi yang kudengar dari 2600classic milikku...
"Ibu kenging napa?"
hening....
Dengan sesenggukan, ibuku mulai bercerita, dan aku pun mendengarkan dengan penuh sayang kepadanya.
Tanpa terasa, bulir air mata mengalir di pipiku, tapi kutahan, ku tak ingin beliau mendengarnya. Namun,aku tak kuasa...
Menangislah kami bersama dalam dinginnya malam ini...
"Bu, Amrih tak wangsul nggih..."
"Ora usah, sing penting kowe wis sehat, Ibu ayem,,, Ibu lega wis crita Dik..."
"Bu, aku tahu engkau butuh teman,", batinku berkata lirih.
Aku baru sadar, entah mengapa, saat hendak Sholat Maghrib, aku ingin sekali mengucapkan selamat menunaikan Sholat Maghrib untuk Bapak dan Ibu. Dan ternyata.....
Ibu, tunggulah aku, meskipun keadaanku seperti ini, aku akan segera pulang untukmu,,,
Janganlah menangis lagi, aku ingin engkau tersenyum,,
Aku tahu kegelisahanmu Ibu, engkau adalah wanita tegar,,,
Tunggulah aku... :'(
@ Rumah Mawaddah, pukul 23.18 WIB
MALU, MAHKOTA TERINDAH PEREMPUAN
Kini kita kembali ke zaman jahiliyah. Zaman di mana hampir semua orang tidak memiliki rasa malu. Tak terkecuali perempuannya. Sifat-sifat jahiliyah perempuan : tomboi, membuka aurat, tabarruj (bersolek), campur baur dengan laki-laki, kini sudah mendarah daging.
Rasa malu yang meskinya menjadi mahkota terindahnya sudah tidak lagi terjaga. Dandanan atau style terkini menjadi pilihan utama para perempuan kita. Tak peduli apakah style tersebut mencerminkan diri seseorang seutuhnya (prinsip diciptakan manusia) atau tidak, yang penting mengikuti yang ada. Perempuan akan merasa bangga mengikuti mode terkini meski harus menjual harga dirinya sebagai makhluk yang suci.
Sangat sulit saat sekarang untuk tidak mendapati perempuan tak punya rasa malu. Di mana pun tempat selalu menemukannya. Di jalan raya, di kampus, atau di mana pun tempat, selalu terlihat perempuan dengan pakaian minim. Media elektronik dan cetak menampilkan perempuan dengan busana minim. Bahkan di televise, adegan ciuman dengan lawan jenis bukan lagi menjadi hal yang tabu.
Dengan begitu, maka perempuan akan diremehkan harga dirinya. Kesucian tiada tara, yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, seketika akan menjadi luntur. Luntur karena keindahan kamuflase sesaat. Alhasil, dengan adanya perempuan yang menggunakan pakaian seadanya, bergaul tanpa batas, akan menjadikan laki-laki dengan mudah mengajaknya untuk berbuat yang tidak diperkenankan oleh agama, social, dan negara.
Seorang laki-laki dipastikan akan menganggap remeh perempuan yang menggunakan pakaian dengan mengumbar auratnya dan/atau bergaul seenaknya. Berbeda dari perempuan yang selalu menjaga diri dengan rasa malunya. Perempuan yang memiliki rasa malu, meski tidak bercadar, akan selalu berpakaian rapi dan menjaga seluruh auratnya.
Perempuan-perempuan yang memiliki rasa malu ini akan memiliki kedudukan lebih tinggi di hadapan laki-laki dan masyarakat. Meski pakaian yang dikenakan tidak semegah yang dikenakan para pengikut mode, namun penghargaan yang diberikan kepadanya akan jauh lebih tinggi. Tidak mungkin seorang laki-laki berpikir untuk berbuat tidak senonoh kepadanya, apalagi hingga melakukan aksi. Kaum laki-laki dipastikan akan menghargai keberadaannya.
Bukan hanya dalam keseharian penghargaan perempuan yang memiliki rasa malu menduduki posisi lebih tinggi dibanding dengan perempuan yang hilang rasa malunya. Saat seorang laki-laki akan membangun rumah tangga, dipastikan seorang laki-laki akan memilih perempuan yang memiliki rasa malu. Dengan perempuan yang memiliki rasa malu, dirinya meyakini akan memulai mendirikan bangunan rumah tangga yang menyejukkan hati.
Perempuan yang memiliki rasa malu dipastikan memiliki rasa amanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan tanpa rasa malu. Mereka akan menjaga nama baik suaminya, sabar, dan dapat diharapkan menjadi istri yang baik. Dirinya akan setia semenjak dunia hingga akhirat. Dan inilah sebenarnya hakikat pernikahan, bukan sekadar jalan melampiaskan nafsu dunia belaka.
Berbeda dari perempuan tanpa rasa malu. Dirinya dipastikan hanya menjadi istri yang dapat membahagiakan sesaat. Dirinya akan dinikmati suaminya dalam jangka yang relative singkat. Seorang suami dipastikan akan cepat bosan dengannya, karena jika dirinya menyukai perempuan tanpa rasa malu, berarti dirinya hanya mencintai karena nafsu. Dan dipastikan dirinya akan cepat bosan. Apalagi saat menjadi istri, seorang perempuan dengan tanpa rasa malu akan meminta hal-hal yang jauh di luar kemampuan suaminya.
Peradaban
Disadari atau tidak, perempuan adalah tongkat estafet peradaban. Perempuan yang memiliki rasa malu akan menghasilkan peradaban luhur. Perempuan tanpa rasa malu akan menghasilkan peradaban negative. Saat seorang perempuan telah menjadi ibu, dirinya akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Apapun yang dilakukan perempuan (baca : ibu) akan selalu terekam kuat dalam memori anak-anaknya. Mereka akan menirukan segala jenis perilaku dan ucapan yang ada pada ibunya. Maka dari sinilah saat ibu salihah, maka anak dimungkinkan besar akan menjadi anak yang salih dan salihah. Saat ibunya tidak salihah, jangan harap anaknya menjadi salih dan salihah.
Maka tidak heranlah saat Rasulullah SAW sejak jauh hari sudah berpesan : “Jika Allah hendak menghancurkan suatu kaum (negeri), maka terlebih dahulu dilepaskannya rasa malu dari kaum itu.” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).
Perempuan adalah tiang negara, hancur atau majunya suatu negara tergantung bagaimana kondisi perempuan yang ada di dalamnya.
------------Indaryati, ibu rumah tangga, tinggal di Gunungkidul--------------
__Rumah Mawaddah, pukul 22.42 WIB___
Langganan:
Postingan (Atom)