Get Gifs at CodemySpace.com

Rabu, 25 Juli 2012

Bola-bola Gethuk Pisang Bertabur Salju Emas

Menjalani puasa Ramadhan di Solo berbeda dengan saat menjalaninya di rumah sendiri. Ketika di rumah, pada jam-jam seperti ini biasanya saya sudah mulai sibuk bersama ibu di dapur untuk menyiapkan menu berbuka. Ini cukup menarik bagi saya karena bisa menjadi ajang untuk belajar memasak. Berbeda dengan di Solo, karena menu untuk buka dan sahur cukup dengan membelinya di warung. Simpel, tapi menjadi tidak ada kesempatan untuk belajar memasak. Meskipun sebenarnya di kos ada dapur kecil, tetapi peralatan serta bumbu-bumbunya tidak selengkap di rumah. Ahh,,tak perlu mengeluh atau menyesal, just enjoy it. ^_^

Teringat saat hari Minggu, 22 Juli 2012, tepatnya hari kedua dalam bulan Ramadhan 1433 H versi pemerintah, saya mulai bereksperimen dengan ide aneh saya. Entah mengapa saya rindu sekali makan gethuk pisang. Ya, gethuk pisang buatan ibu berbeda dengan gethuk pisang dari Kediri atau dari daerah lainnya. Saya pun merayu-rayu ibu agar diperbolehkan untuk mencoba membuat gethuk pisang versi saya. Sambil membantu ibu menyiapkan pecel, menu berbuka pada sore itu, ibu mencari-cari apakah di belakang rumah ada Pisang Kepok yang belum matang. Alhamdulillah, yang dicari-cari ditemukan juga.

Chef Amrih siap beraksi lagi. Untuk membuat gethuk pisang ini, diperlukan bermacam-macam bahan, diantaranya :
  • Pisang kepok yang belum matang
  • Gula merah
  • Kelapa muda
  • Sedikit garam
Setelah bahan-bahan tersedia, lakukan langkah berikut :
Bola-bola Gethuk Pisang Bertabur  Salju Emas
  1. Kupas pisang, cuci, dan rebuslah dalam air mendidih
  2. Sambil menunggu pisang matang, parut kelapa muda secukupnya.
  3. Iris tipis-tipis gula merah.
  4. Masukkan sedikit garam pada parutan kelapa muda, tambahkan irisan gula merah, kemudian aduk rata.
  5. Tiriskan pisang yang telah matang, kemudian tumbuk pisang agar halus. (Dalam hal ini, saya lebih suka jika tumbukan pisang tidak terlalu halus, akan tetapi masih ada growolan-growolan pisang, sehingga masih terasa sensasi pisangnya ^_^)
  6. Campurkan parutan kelapa yang sudah diberi gula dan garam ke dalam tumbukan pisang. Aduk hingga merata.
  7. Setelah adonan merata, buat bola-bola gethuk pisang.
  8. Sajikan bola-bola gethuk pisang di atas piring, hias agar lebih menarik. Jangan lupa taburkan pula parutan kelapa di atasnya.
  9. BOLA-BOLA GETHUK PISANG BERTABUR SALJU EMAS siap dinikmati.

Alhamdulillah eksperimen saya selesai. Seperti biasa, Bapak dan Ibu selalu tersenyum-senyum sendiri ketika melihat tingkah putri bungsunya memasak. Bagaimana tidak, saya selalu terlihat rempong. Entah itu karena ribet foto-foto maupun penataan bahan-bahan memasak yang sok-sokan ditata seperti acara masak di TV, hehe. "Maklum, lagi senang-senangnya bereksperimen Pak, Bu..," batin saya.

Alhasil, akhirnya adzan maghrib berkumandang. Alhamdulillah masih bisa menikmati buka pada puasa hari kedua bersama keluarga dan seorang sahabat kecilku, Septi Dwi Iswanti. Pecel dan gethuk pisang pun sudah melambai-lambai untuk segera kami santap bersama. Alhamdulillah...Besok-besok, izinkan saya bereksperimen lagi ya Bu... ^_^
Pecel dan Gethuk Pisang

@ kamar KOS MAWADDAH menjelang Ashar

Minggu, 22 Juli 2012

Capcay Kuah Sosis Spesial Ala Chef Amrih Queen

Alhamdulillah, masih bisa dipertemukan dengan bulan suci penuh berkah, bulan Ramadhan. Lebih bersyukur lagi, bisa membuka puasa pertama bersama keluarga tercinta. Oleh karena itu aku ingin memberikan sebuah tanda cinta untuk mereka, hehe. Yapz!! Sebuah hidangan sehat dan bergizi, insya Allah, kupersembahkan sebagai menu dalam buka puasa 1 Ramadhan 1433 H.
Bagaimana cara membuatnya?? Inilah resep ala Chef Amrih,,, ^ ^

Jumat, 13 Juli 2012

Gara-gara Kehabisan Tiket


Cepet mak...wis ditelpon Mbak Erny, dhewe wis ditumbaske tiket. Mamel nembe wis taktelpon tak kon ning kosku, dheke gak mudheng dalan ning Balapan,” kataku saat telepon Mak Fair.

Pira tukune tiket?” tanya si Emak.

Telu..” jawabku.

Oke, otw kosmu Mak,” sahut Mak Fair.

Kamis, 14 Juni 2012

CUKUP!!!

Cukup!!!


Aku tak ingin peduli lagi...


Cukup!!!


Usah kau peduli lagi...



                                         Cukup!!!



                                                                                        Kan kusimpan semua sendiri...




Aku tak butuh kepercayaanmu lagi.....



CUKUP!!!


Rabu, 30 Mei 2012

Khaulah Binti Tsa’labah


Seorang mukminah yang satu ini bernama Khaulah binti Tsa`labah. Ia adalah seorang wanita yang cerdas dan fasih dalam bertutur kata. Ia menikah dengan Aus bin Shamit, saudara dari Ubadah bin Shamit yang ikut serta dalam perang Badar, perang Uhud serta pada beberapa perperangan lain yang disertai Rasulullah saw.

Minggu, 27 Mei 2012

Engkau Masih Bersayap...

Kulihat sekitar, alam masih hijau,
Udara masih segar,
Bunga masih mekar...

Goresan Tinta Untuk Keluargaku...


Sebuah puncak telah terlewati. Fiuhhhh,,,,satu kata. L E G A J
Bagaimana tidak?? Setelah berbulan- bulan menyiapkan acara ini dengan bermacam-macam bumbu yang aduhai lengkapnya, sampai cerobong dapur mengepul berasap hitam, kini semua telah mulai untuk kembali tetap berasap, dan emmmm, mungkin lebih baik jangan terlalu hitam deh asap cerobong dapur ini. Tar jadi blentong-blentong donk, wuaaaa...
Ada rasa haru, marah, sebel, bahagia, kangen. Pokoknya sudah jadi gado-gado Bu Warni deh kalau dimasak (ahaha, efek sering nemenin Simbok Fair ke warung favoritnya).

Haru.
Tentu saja aku merasa haru. Melihat perjuangan benih-benih hijau yang super duper semangat berkontribusi memberikan yang terbaik untuk keluarga ini. Malam yang seharusnya digunakan untuk membuat laporan praktikum, belajar ujian, menyelesaikan tugas besar, bahkan malam yang seharusnya untuk istirahat, rela mereka sedekahkan untuk sebuah persembahan luar biasa. Tidur bertemankan nyamuk-nyamuk Lembah Teknik tanpa selimut, bermalam di lantai 4 PUSKOM untuk memburning 200 keping CD, lembur tiap hari hingga jam 02.00 untuk mengurus sertifikat, sempoyongan mencari-cari sebuah tanda-tangan, berkoar-koar publikasi dari satu bimbel ke bimbel lain, menyapu lembah teknik hingga jam 22.00, bermalam di tempat yang penuh aura mistis dan jauh dari akses warga , sempoyongan bolak-balik demi mencari sesuatu pengganjal perut, angkat-angkat sofa naik turun tangga hingga 4x, menghabiskan banyak pulsa untuk mencari massa sebanyak mungkin, bahkan mungkin rela diceramahi habis-habisan karena masih polosnya mereka, dan entah apa lagi yang telah mereka dedikasikan untuk keluarga ini. Aku tak sanggup lagi untuk menyebutkannya satu per satu.

Marah.
Tentu saja aku merasa marah, marah pada diriku sendiri. Melihat semangat benih-benih yang begitu membara, mengapa kadang masih muncul sedikit rasa lelah dan malas untuk beranjak menemani mereka. Terkadang masih ada ego dalam diri yang tak bisa kukendalikan. Ya, aku hanyalah manusia biasa. Namun, aku hanya ingin menebus kesalahanku dengan segenap kemampuanku. Menemani mereka hingga malam, memberikan mereka motivasi, mencarikan pengganjal perut untuk teman bermalam. Yah, mungkin yang sedikit ini tidak ada artinya dibandingkan dengan perjuangan keras mereka.

Sebel.
Aku pun sebel dengan diriku sendiri. Mengapa di saat mereka butuh bantuan, butuh teman, butuh sumber daya- sumber daya yang lain, aku belum bisa menghadirkannya. Aku belum mampu untuk menggerakkan semuanya. Mungkin aku hanya bisa menghjadirkan beberapa. Namun, aku yakin, yang beberapa ini adalah para pejuang yang takkan pernah dilupakan. Sekecil apapun apa yang mereka berikan, sangatlah berarti untuk sebuah persembahan luar biasa. Tak ada yang tak berguna, sekecil apapun itu. Mereka semua adalah pejuang yang sungguh LUAR BIASA.

Bahagia.
Melihat senyum mereka, canda tawa mereka, seakan mengobati semua lelah, semua penat yang kurasakan. Semua kerja keras yang telah dilakukan, hingga sampai timbul beberapa konflik-konflik kecil, Perang Padri jilid II, konspirasi terselubung, dan entah hal ‘lucu’ apalagi yang mungkin sampai sekarang belum terungkap, terbayar dengan keberjalanan acara yang menarik dan menyenangkan. Mungkin awalnya benar-benar manggoncang hati dan otak hingga benthet-benthet mau pecah, tapi Allah begitu sayang pada kami. Selalu ada sesuatu tak terduga yang Ia kirim untuk menyelamatkan kami. Sesuatu yang mendorong pita suara kami untuk selalu mengucapkan Alhamdulillah.... Subhanallah.... berulang kali. Sungguh indah jika diresapi dan dirasakan dari segenap hati.

Kangen.
Ya, kata yang sulit kuungkapkan.  Memutar memori dari awal hingga detik ini, mengenang semua perjuangan hebat, mengenang wajah-wajah yang...ah, tak akan rela jika aku sampai lupa wajah-wajah tulus mereka. Selalu muncul pertanyaan dalam hati, “Akankah aku masih melihat wajah-wajah tulus itu setelah moment ini? Akankah aku masih bisa bercanda bersama mereka lagi setelah ini? Akankah aku masih bisa ‘dijothaki’ mereka lagi setelah ini? Mungkinkah setelah ini mereka akan meninggalkan kami? Atau mungkinkah kami yang sudah tak bisa membersamai mereka lagi?”

Ini bukanlah hubungan antara atasan-bawahan, bukan juga hubungan antara pengurus dengan non-pengurus. Ini adalah hubungan antarteman, antarkawan, antarsahabat. Ah...tidak. Tidak, bukan, ini adalah hubungan antara anggota keluarga. Ya,,, keluarga SIM (Studi Ilmiah Mahasiswa), keluarga para panitia FILM XII (pengurus dan non-pengurus), serta keluarga semua pihak yang telah membantu kesuksesan acara Festival Ilmiah Mahasiswa XII SIM UNS. Berawal dari sebuah senyum dan semangat yang tinggi, berakhir pula dengan senyum dan semangat yang jauh lebih tinggi lagi. Tidak bisa disangkal pula, bukan tidak mungkin setelah ini akan dilanjutkan dengan senyum dan semangat yang sangat sangat jauh jauh jauh lebih tinggi lagi. Lebih tulus lagi...

Terima kasih untukmu, keluargaku....
Harapan besar, semoga apa yang telah dilakukan selama ini menjadi salah satu dari pemberat amal kita di akhirat kelak. Amin Ya Rabb, Engkau Yang Maha Mengetahui...   

Bersama “My Love_Westlife” 
dalam Rumah Mawaddah, Surakarta

Selasa, 15 Mei 2012



Ndhuk,,, 


cobalah untuk lebih dewasa lagi..


Tajamkan pandanganmu lurus ke depan!!

Tanggung jawab, amanah....

Senin, 14 Mei 2012

Pilihan...

Tak bisa menyalahkan siapapun...

Karena tak bijak rasanya jika hanya mencari siapa yang patut disalahkan...

Ya, saya yang salah, jika memang harus ada yang disalahkan...


Mengapa harus dibuat pusing oleh sesuatu yang sebenarnya telah tertulis dengan jelas??

Mengapa harus memaksakan sesuatu yang nantinya akan berjalan sendiri sesuai dengan alur mainnya??

Kapan diri ini akan bijak dan lebih tegas??

Hanya diri ini yang patut dan memang harus bisa menjawabnya...


Luruskan selalu niat ini...

Terkadang memang goyah, akan tetapi kuatkanlah kembali...

Ingatlah wajah-wajah penuh harap mereka...


Hidup adalah sebuah pilihan ...

Bagaimana hidupmu tergantung dari pilihan yang kamu ambil...

Bismillah, kuatkanlah hati dan iman ini...

Berikan yang terbaik menurut Engkau untuk kami...

Aku yakin, janjiMu tak akan pernah salah...




Senin, 20 Februari 2012

Gelisahmu, Ibu....


Malam ini, sekitar pukul 19.45 WIB, handphoneku berdering. Nada dering Mother dari Seamo pun terdengar begitu riang dan penuh semangat bagiku.

M Waluyo M3 is calling...

Suasana anak-anak kos yang sedang menikmati camilan setelah berbuka, sampai dianggap seperti pasar bubrah, kata masku, aku pun tertawa dibuatnya. Sambil mengajari Dek Esti tentang limit dalam Matematika, aku pun ngobrol dengan mas yang sangat perhatian dengan keluargaku ini.
Tiba-tiba, ia mengatakan , " Iki, ibu meh ngendika dik..."
"oh ya mas,,", jawabku.

"Hallo, assalamu'alaykum..."
"Wa'alaykumussalam,,,,piye saiki Dik? Wis mari durung...?"
"Alhamdulillah Bu,,,Amrih pun mboten napa-napa kok,,Ibu pripun..."

Selanjutnya, hanya isak tangis tersembunyi yang kudengar dari 2600classic milikku...

"Ibu kenging napa?"

hening....


Dengan sesenggukan, ibuku mulai bercerita, dan aku pun mendengarkan dengan penuh sayang kepadanya.
Tanpa terasa, bulir air mata mengalir di pipiku, tapi kutahan, ku tak ingin beliau mendengarnya. Namun,aku tak kuasa...

Menangislah kami bersama dalam dinginnya malam ini...

"Bu, Amrih tak wangsul nggih..."
"Ora usah, sing penting kowe wis sehat, Ibu ayem,,, Ibu lega wis crita Dik..."

"Bu, aku tahu engkau butuh teman,", batinku berkata lirih.

Aku baru sadar, entah mengapa, saat hendak Sholat Maghrib, aku ingin sekali mengucapkan selamat menunaikan Sholat Maghrib untuk Bapak dan Ibu. Dan ternyata.....


Ibu, tunggulah aku, meskipun keadaanku seperti ini, aku akan segera pulang untukmu,,,
Janganlah menangis lagi, aku ingin engkau tersenyum,,
Aku tahu kegelisahanmu Ibu, engkau adalah wanita tegar,,,

Tunggulah aku... :'(


@ Rumah Mawaddah, pukul 23.18 WIB

MALU, MAHKOTA TERINDAH PEREMPUAN


Kini kita kembali ke zaman jahiliyah. Zaman di mana hampir semua orang tidak memiliki rasa malu. Tak terkecuali perempuannya. Sifat-sifat jahiliyah perempuan : tomboi, membuka aurat, tabarruj (bersolek), campur baur dengan laki-laki, kini sudah mendarah daging.
Rasa malu yang meskinya menjadi mahkota terindahnya sudah tidak lagi terjaga. Dandanan atau style terkini menjadi pilihan utama para perempuan kita. Tak peduli apakah style tersebut mencerminkan diri seseorang seutuhnya (prinsip diciptakan manusia) atau tidak, yang penting mengikuti yang ada. Perempuan akan merasa bangga mengikuti mode terkini meski harus menjual harga dirinya sebagai makhluk yang suci.
Sangat sulit saat sekarang untuk tidak mendapati perempuan tak punya rasa malu. Di mana pun tempat selalu menemukannya. Di jalan raya, di kampus, atau di mana pun tempat, selalu terlihat perempuan dengan pakaian minim. Media elektronik dan cetak menampilkan perempuan dengan busana minim. Bahkan di televise, adegan ciuman dengan lawan jenis bukan lagi menjadi hal yang tabu.
Dengan begitu, maka perempuan akan diremehkan harga dirinya. Kesucian tiada tara, yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, seketika akan menjadi luntur. Luntur karena keindahan kamuflase sesaat. Alhasil, dengan adanya perempuan yang menggunakan pakaian seadanya, bergaul tanpa batas, akan menjadikan laki-laki dengan mudah mengajaknya untuk berbuat yang tidak diperkenankan oleh agama, social, dan negara.
Seorang laki-laki dipastikan akan menganggap remeh perempuan yang menggunakan pakaian dengan mengumbar auratnya dan/atau bergaul seenaknya. Berbeda dari perempuan yang selalu menjaga diri dengan rasa malunya. Perempuan yang memiliki rasa malu, meski tidak bercadar, akan selalu berpakaian rapi dan menjaga seluruh auratnya.
Perempuan-perempuan yang memiliki rasa malu ini akan memiliki kedudukan lebih tinggi di hadapan laki-laki dan masyarakat. Meski pakaian yang dikenakan tidak semegah yang dikenakan para pengikut mode, namun penghargaan yang diberikan kepadanya akan jauh lebih tinggi. Tidak mungkin seorang laki-laki berpikir untuk berbuat tidak senonoh kepadanya, apalagi hingga melakukan aksi. Kaum laki-laki dipastikan akan menghargai keberadaannya.
Bukan hanya dalam keseharian penghargaan perempuan yang memiliki rasa malu menduduki posisi lebih tinggi dibanding dengan perempuan yang hilang rasa malunya. Saat seorang laki-laki akan membangun rumah tangga, dipastikan seorang laki-laki akan memilih perempuan yang memiliki rasa malu. Dengan perempuan yang memiliki rasa malu, dirinya meyakini akan memulai mendirikan bangunan rumah tangga yang menyejukkan hati.
Perempuan yang memiliki rasa malu dipastikan memiliki rasa amanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan tanpa rasa malu. Mereka akan menjaga nama baik suaminya, sabar, dan dapat diharapkan menjadi istri yang baik. Dirinya akan setia semenjak dunia hingga akhirat.  Dan inilah sebenarnya hakikat pernikahan, bukan sekadar jalan melampiaskan nafsu dunia belaka.
Berbeda dari perempuan tanpa rasa malu. Dirinya dipastikan hanya menjadi istri yang dapat membahagiakan sesaat. Dirinya akan dinikmati suaminya dalam jangka yang relative singkat. Seorang suami dipastikan akan cepat bosan dengannya, karena jika dirinya menyukai perempuan tanpa rasa malu, berarti dirinya hanya mencintai karena nafsu. Dan dipastikan dirinya akan cepat bosan. Apalagi saat menjadi istri, seorang perempuan dengan tanpa rasa malu akan meminta hal-hal yang jauh di luar kemampuan suaminya.
Peradaban
Disadari atau tidak, perempuan adalah tongkat estafet peradaban. Perempuan yang memiliki rasa malu akan menghasilkan peradaban luhur. Perempuan tanpa rasa malu akan menghasilkan peradaban negative. Saat seorang perempuan telah menjadi ibu, dirinya akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Apapun yang dilakukan perempuan (baca : ibu) akan selalu terekam kuat dalam memori anak-anaknya. Mereka akan menirukan segala jenis perilaku dan ucapan yang ada pada ibunya. Maka dari sinilah saat ibu salihah, maka anak dimungkinkan besar akan menjadi anak yang salih dan salihah. Saat ibunya tidak salihah, jangan harap anaknya menjadi salih dan salihah.
Maka tidak heranlah saat Rasulullah SAW sejak jauh hari sudah berpesan : “Jika Allah hendak menghancurkan suatu kaum (negeri), maka terlebih dahulu dilepaskannya rasa malu dari kaum itu.” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).
Perempuan adalah tiang negara, hancur atau majunya suatu negara tergantung bagaimana kondisi perempuan yang ada di dalamnya.
 ------------Indaryati, ibu rumah tangga, tinggal di Gunungkidul--------------


__Rumah Mawaddah, pukul 22.42 WIB___