Get Gifs at CodemySpace.com

Minggu, 30 November 2014

Buku Kehidupan Itu Bernama Prameks



Hana telah duduk di bangku panjang dekat pintu gerbong kereta api Prambanan Ekspres (Prameks) jurusan Kutoarjo - Solo Balapan. Angkutan umum yang terbilang cukup murah ini begitu memberikan kesan tersendiri bagi Hana. Cukup dengan Rp 12.000,00 ia bisa mendapatkan banyak cerita dari tiap perjalanannya. “Cerita apa lagi ya yang akan kudapatkan hari ini?” gumamnya dalam hati. Cerita serakan sampah di lantai gerbong terlalu membuatnya jenuh. Kisah hidup dari teman duduknya selalu membuatnya lebih antusias. Mulai dari lika-liku kehidupan seorang teknisi kapal laut, dosen, guru Bahasa Inggris yang membina para sopir taksi di Solo, pekerja salon muslimah yang hanya lulusan SD, anggota DPRD, ahli kimia yang bekerja di bidang alkes, guru sekaligus pebisnis batik Laweyan di Kalimantan, hingga kekaguman orang Palu yang baru pertama kali naik kereta di Pulau Jawa.
Mandhap pundi, Mbak (Turun mana, Mbak)?” sapa seorang ibu yang duduk di samping kiri Hana.

Balapan Bu, Ibu mandhap pundi?”
“Oh, sama kalau begitu Mbak. Kuliah?”
“Wah, sama ternyata. Iya Bu, kuliah. Ibu sendirian?” tanya Hana lagi.
“Tadinya mau sama suami Mbak, tapi kebetulan sedang ada tukang yang memperbaiki rumah, jadi bagi-bagi tugas. Kalau bukan karena berita duka dan demi menjaga silaturahim, mungkin sekarang saya tidak naik kereta bersama Njenengan (Anda)...”
Layaknya kisah-kisah sebelumnya, Hana merasa heran. Tak sedikit teman duduk di Prameks yang dengan begitu ringan memulai berbagi cerita hidup kepada Hana.
Namanya Bu Denok. Wajahnya teduh, keibuan, penuh kesabaran, terlihat cerdas, cantik, dan makin anggun dengan kerudung putih yang menghiasi kepalanya. Ah! Inilah cerita baru yang telah Hana tunggu. Segera ia pasang mata, telinga, juga perhatiannya demi melihat beliau yang mulai terlihat begitu percaya dan nyaman untuk bercerita, menghabiskan waktu perjalanan bersama Hana. Bu Denok pagi itu mendapat kabar duka bahwa buliknya yang tinggal di Gemolong, Sragen, meninggal dunia. Bu Denok berasal dari Gemolong, tetapi sekarang tinggal di perumahan RSS Kebumen. Kabar duka itu beliau dapatkan bukan dari keluarga yang ada di Gemolong, tetapi justru dari keponakan di luar kota.
“Begitulah Mbak, setelah menikah saya ikut suami dan jarang pulang ke Gemolong kecuali saat lebaran atau ada acara khusus. Apalagi saya sudah tidak punya orang tua. Saudara juga sudah menyebar dengan keluarganya masing-masing. Terkadang saya rindu dengan kampung halaman, tetapi saya paham posisi saya saat ini adalah sebagai seorang isteri dan juga ibu dari tiga putera. Bakti saya kepada mereka adalah yang utama..” cerita beliau.
 “Anak-anak kok nggak diajak Bu?” tanya Hana.
“Anak saya sekolah Mbak, yang kecil kelas 9, yang sulung di Kutai kerja di pertambangan. Alhamdulillah, sudah merasa betah dengan pekerjaannya. Yang tengah di Padang, juga di pertambangan, tapi tidak betah gara-gara kondisi perutnya tidak bisa menyesuaikan dengan makanan Padang,” jawabnya sambil tersenyum, membuat Bu Denok semakin terlihat muda.
            Kereta terus melaju entah sampai mana, tetapi mereka berdua tetap melanjutkan bercerita. Dalam kisahnya, Bu Denok menceritakan tentang masa mudanya hingga saat ini. Bu Denok muda adalah wanita yang suka akan Matematika, menari, menyanyi, voli, karawitan, dan sederet hobi lain. Beliau sering mewakili lomba menari dan selalu diikutkan dalam pertandingan voli. Saat menikah, beliau ridho dengan laki-laki pilihan pamannya, yang umurnya kurang lebih terpaut 10 tahun. Beliau hanya ingin berbakti kepada pamannya yang selama ini telah banyak membantu kehidupan beliau. Meski umur terpaut cukup jauh dan tentu saja banyak pola pikir suaminya yang terkadang berbeda dengan beliau, Bu Denok tetaplah menghormati dan berbakti kepada suaminya. Terkadang Bu Denok rindu dengan kegemarannya. Namun, ketika suami belum mengizinkan untuk menekuni kembali hobi mudanya, Bu Denok tak pernah membantah. Beliau selalu berpikir bahwa keluarganya lebih membutuhkan perhatian Bu Denok. Bu Denok tidak ingin jika beliau terlalu asyik dengan hobinya, anak-anak menjadi terlantar dan tidak terkontrol baik agama, pendidikan, maupun pergaulannya. Beliau sadar bahwa pengaruh seorang Ibu begitu penting dalam keluarga.
“Mbak, apalagi sekarang teknologi makin canggih ya.. Saya itu takut kalau perkembangan teknologi itu justru tidak digunakan semestinya. Hati-hatilah dengan HP Mbak.. Dari sebuah HP, perselingkuhan bisa terjadi, kerusakan moral anak bisa terjadi, rumah tangga hancur. Ketika mau dibelikan HP canggih oleh anak saya, saya menolaknya. Bukan karena apa-apa, tapi saya memilih untuk menjaga diri saya dari hal-hal yang tidak diinginkan. Asal bisa untuk sms dan telepon, itu sudah cukup untuk orang seperti saya. Saya ngeri melihat ibu-ibu yang tiap hari asyik chatting dengan teman-temannya hingga rumah tangga tak terurus, juga ibu-ibu yang suka menggosip di rumah tetangga, saya nggak pernah ikut mbak. Saya sangat bersyukur sekali dengan suami saya. Tidak banyak cakap, tetapi sabar, bijaksana, dan ngemong. Saya juga bersyukur memiliki 3 putera yang masih terkontrol dengan baik. Meski saya satu-satunya perempuan di rumah, saya selalu berusaha menjadi teman bagi mereka. Anak-anak kalau ada masalah, selalu cerita dengan saya Mbak, jarang kan anak laki-laki mau cerita dengan ibunya. Apalagi yang sulung, sekarang sudah dewasa. Saya selalu menasihati dia agar jangan pernah menyakiti wanita. ‘Ingatlah Ibu ketika kamu ingin menyakiti wanita’, itu yang saya katakan pada Si Sulung. Saya nasihati agar memilih wanita yang baik, terutama agamanya. Saya kan juga bangga Mbak kalau memiliki menantu yang baik, hehe
Hana tersenyum dan kagum dengan pola pikir ibu rumah tangga yang ada di sampingnya ini.
“Bahkan Mbak, saya sudah berusaha menjaga diri dari FB, sudah memilih untuk pakai HP sederhana, tetap saja banyak teman laki-laki yang suka mengganggu lewat sms, telepon. Saya tidak ingin menjadi isteri durhaka Mbak. Kalau sudah jam 9 malam, HP saya matikan. Saya harus tegas dengan diri saya demi keluarga Mbak. Coba kalau saya menanggapi godaan teman-teman saya, seperti apa keluarga ini nantinya..”
“Wah, kok saya jadi cerita banyak gini ke Mbak Hana ya, hehe. Maaf ya, tapi semoga bisa jadi pelajaran ya Mbak. Saya suka bercerita, kelak Mbak Hana akan mengalami sendiri. Pesan saya jagalah diri Mbak Hana sebagai seorang wanita, baik saat lajang, sebagai isteri, maupun sebagai seorang ibu kelak. Senang bercerita dengan Mbak Hana. Lho Mbak, sudah sampai Balapan ternyata ya??”
            Hana dan Bu Denok pun berpisah, beliau berharap agar suatu saat Hana main ke rumahnya. Hana hanya bersyukur, kisah Bu Denok semakin melengkapi buku kehidupannya. Prameks memang merupakan sumber belajar kehidupan ketika kita mau membuka diri untuk menggapai setiap ilmu kehidupan yang ada di dalamnya.
“Saya akan berusaha menjaga diri saya sebagai seorang wanita, Bu Denok..” janji Hana pada dirinya.
***


Amrih Mahanani, lahir di Purworejo pada 11 Februari 1990. Memiliki hobi membaca, suka akan olahraga, seni, travelling, dan anak-anak. Menuruni hobi membaca dari Bapak dan bercita-cita ingin bisa menginspirasi seperti penulis buku-buku maupun blog yang telah dibacanya. Semakin ingin berbagi inspirasi ketika dipertemukan dengan keluarga SIM UNS. Jika ingin bertukar informasi dan pikiran, bisa berbagi di FB : Amrih Mahanani, email : amrih.fathimahazzahra@gmail.com, atau blog : www.sharewithamrih.blogspot.com.

Nb:Tulisan ini diikutkan dalam EVENT MENULIS PENERBIT ELLUNAR dengan tema "Transportasi Umum" dan "Bulan"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan sahabat memberikan saran,komentar, ataupun kritik. Namun, ingat yaaa, tetap jaga kesopanan ^_^