Pagi itu, Fitroh memintaku untuk menemaninya membeli sepatu di
Pasar Pagi Manahan. Kebetulan jam 9 dia ada janji untuk mengerjakan tugas
kelompok, jadi tidak akan memakan waktu lama di Manahan. Mendengar alasan itu,
“oke” jawabku padanya.
Mio Soul hijau pun meluncur menuju Manahan dengan Fitroh di
depan dan aku membonceng di belakangnya. Setiba di TKP, wuiihhh,
Manahan benar-benar ramai saat itu. Tanpa banyak tengok kanan-kiri, kami pun bergegas menuju penjual sepatu karet Cr*cs. Fitroh memilih dan memilah sepatu, cling!! Sepatu yang dicari dah ketemu, warna oke, harga cocok, siiipp!! deal!! Aku pun mengambil dompet Fitroh yang dititipkan di dalam tas batikku.
Manahan benar-benar ramai saat itu. Tanpa banyak tengok kanan-kiri, kami pun bergegas menuju penjual sepatu karet Cr*cs. Fitroh memilih dan memilah sepatu, cling!! Sepatu yang dicari dah ketemu, warna oke, harga cocok, siiipp!! deal!! Aku pun mengambil dompet Fitroh yang dititipkan di dalam tas batikku.
Tidak berapa lama kemudian, cacing-cacing di perut kami protes
tidak karuan. Alamaakk,,,baiklaahh, mata kami pun melirik penjual jajanan pasar
seperti gethuk, ketan ireng, gathot, cenil, klepon, mata roda, dll.
Hmmm,,serasa ada di Pasar Sruwoh. Kami pesan dua bungkus dan aku siap mengambil
dompet di tas untuk membayarnya. Tangan sudah mau membuka tas, eh Si Fitroh
bilang, “Mbak, pakai uangku dulu aja..”.
Dua bungkus jajanan pasar sudah di tangan, tapi tetap saja Si
Cacing protes (ya iyalaahh, secara belum ada makanan masuk ke lambung kami).
“Mbak, beli udang yuukk..” ajak Fitroh.
“Yuukk…,” jawabku.
Dua bungkus udang goreng yang sudah disiapkan penjual siap
menyambut ‘majikan’ barunya. Namun, lagi-lagi Si Fitroh bilang, “Mbak, pakai
uangku dulu saja,”
“Baiklaaaahh….”
Si Cacing tetap saja ribut dan usil di dalam perut sana.
“Mbak, maem yuuuk, Mbak Amrih mau maem apa?” tanya Fitroh.
“Pokoke nasi. Kamu mau maem apa?” tanyaku.
“Aku bubur ayam aja Mbak, Mbak Amrih nasi ta, ama sup matahari aja pa?”
“Oke..oke..yuuuk,” jawabku semangat.
Kami memesan nasi sup
matahari, bubur ayam, dan dua gelas teh hangat. Sepertinya menu ini cukup
membuat cacing-cacing bersedia tutup mulut, setidaknya sampai nanti siang. Saat
sedang asik-asiknya sarapan, tiba-tiba datanglah seorang ibu yang
meminta-minta. Aku mengingat-ingat di dompet ada uang atau tidak, tetapi ketika
membuka tas, kebetulan ada uang di luar dompet yang bisa aku berikan untuk ibu
itu. Beberapa waktu kemudian, berganti seorang pengamen dengan suara cukup
merdu mendekati kami. Fitroh berganti memberikan sekedar untuk pengamen itu.
Namun, saat mengambil dompet di tasku, dalam batin Fitroh berkata, “Kok di
dalam tasnya Mbak Amrih terang ya (semacam ada cahaya)?”
Perut sudah kenyang, waktu menunjukkan pukul 09.30, kami pun
beranjak ingin membayar makanan yang telah dipesan.
“Bu, nasi sup matahari sama teh anget,” kataku.
“Sepuluh ribu Mbak…”
“Kalau saya bubur ayam, teh anget, sate usus 2,” kata Fitroh.
“Delapan ribu Mbak…”
Tanganku mulai membuka tas ingin mengambil uang Rp 10.000,00 di
dompet. Tangan merogoh-rogoh isi tas, wajah mulai pucat, “Dek, dompetku?
Dompetku? Ya Allah….Dek, tasku sobek, tasku disilet, dompetku nggak ada….”
“Yang bener Mbak Amrih????” panik Fitroh.
“Iyaaaaa dek….. Lihaten ini,” jawabku pasrah. Ibu penjual maem
ikut bingung dan bertanya, “Kenapa Mbak? Dicopet ta? Mbaknya apa tadi lewat
dekat lapangan sepak bola? Biasanya di sini memang ada copet Mbak, suami
isteri, kadang bawa anak juga. Itu dah kerja sama gitu Mbak, tapi kalau di
sekitar tempat ini, insya Allah aman Mbak. Coba diulangi lagi aja, dicari ke
tempat yang dilewati tadi, siapa tahu dompetnya dibuang,”
“Ohhh, gitu ya Bu? Saya yang penting itu surat-suratnya itu lho
Bu, kalau uangnya sudah nggak saya pikir Bu…,” jawabku panik.
“Dek, ayo muter ke tempat tadi lagi, tapi minta tolong bayarin
dulu yaa…” lanjutku bilang ke Fitroh.
“Iya Mbak, ayo muter lagi, siapa tahu nanti ketemu dompetnya,
pantesan tadi pas mbuka tasnya Mbak AMrih kok ternag, ternyata ada yang sobek.
Maaf ya Mbak Amriiihhh, gara-gara aku jadi ilang dompetnya, coba nggak takminta
buat nemeni aku.”
“Halah, nggak gitu kaliii, aku aja yang kurang hati-hati, bukan
salahmu,,”
Setelah makanan dibayar, aku dan Fitroh menyusuri jalan yang
tadi kami lewati. Tengok kanan, tengok kiri, benar-benar pencarian yang rasanya
tidak berarti. “Dek, langsung ke kantor polisi aja ya, kayaknya nggak bakal
ketemu kalau nyari sekarang, masih ramai banget. Nanti aja kalau dah sepi kita
cari lagi, gimana? Tapi, tugas kelompokmu?”
“Iya Mbak, gitu aja, nggak apa-apa kok, aku udah bilang temenku
kalau aku nemeni
Mbak Amrih nyari dompet, katanya ngak apa-apa,,”
“Ohh, ya udah,,,”
Selama perjalanan menuju Kantor Polres, aku mengingat-ingat
surat-surat penting yang ada di dompet. Ada STNK, KTP, SIM, ATM, Karmas, Kartu
Perpus. “Ya Allah, semoga Engkau masih menghendaki surat-surat itu kembali ke
tanganku,” harapku.
Di Kantor Polisi
Aku segera masuk ke kantor SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisisan
Terpadu) melaporkan musibah yang baru saja aku alami. Hmm,,cukup kecewa
sebenarnya ketika melihat respon dari Pak polisi yang cenderung santai
menanggapi dan kurang menunjukkan sikap simpatik terhadap rakyat yang baru saja
keamanannya ‘terusik’. Bukankah polisi itu tugasnya mengayomi, melindungi? Hmm,
baiklah, berprasangka baik saja. Mungkin Polisi itu sudah terlalu capai
bertugas sejak tadi, mungkin banyak urusan lain yang menanti untuk diurus,
mungkin dan mungkin bila nanti….(eh, malah nyanyi,he). Setelah menceritakan
kejadian yang baru saja aku alami di Manahan dengan menunjukkan tas yang telah
sobek terkena silet, Pak Polisi menyarankan untuk meminta orang rumah
mengirimkan fotokopi BPKB lewat fax, baru nanti dibuatkan surat keterangan
kehilangan. Namun, aku bilang bahwa ada fotokopi STNK di kos, jadi tidak perlu
untuk mengirim fax. Menurut Pak Polisi, itu malah lebih baik. Akhirnya, aku dan
Fitroh keluar dari ruangan SPKT menuju parkiran untuk pulang ke kos dengan
masih merasa cukup kecewa. Bagaimana tidak? Selain kecewa dengan respon Pak
Polisi, kami kecewa dengan sikap Pak
polisi yang justru merokok di dalam ruangan, padahal ruangan itu berAC. Pak
Polisi yang lain juga malah asik memutar MP3 di komputer, ada yang sok gaya lagi. Hufttt,, semoga ini
tidak menjadikanku langsung menjustifikasi bahwa semua polisi bersikap seperti
mereka. Pasti masih banyak polisi yang baik hati. Sesampai di parkiran motor,
kami menuju gerbang keluar kantor polisi. Agak kaget ketika mengetahui ada
ibu-ibu yang juga melaporkan kehilangan dompet ketika belanja di Manahan. Astaghfirullah, ternyata memang sudah banyak
kejadian serupa di tempat itu, tetapi mengapa tidak ada tindakan dari
kepolisian untuk mengurangi kejadian ini di Manahan? Setidaknya ada papan
peringatan atau spanduk atau mungkin malah ada polisi yang berjaga setiap Minggu
pagi di Manahan. Hmmm, sudahlah… Jangan terlalu berharap kepada orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan sahabat memberikan saran,komentar, ataupun kritik. Namun, ingat yaaa, tetap jaga kesopanan ^_^