Hana
telah duduk di bangku panjang dekat pintu gerbong kereta api Prambanan Ekspres
(Prameks) jurusan Kutoarjo - Solo Balapan. Angkutan umum yang terbilang cukup
murah ini begitu memberikan kesan tersendiri bagi Hana. Cukup dengan Rp
12.000,00 ia bisa mendapatkan banyak cerita dari tiap perjalanannya. “Cerita
apa lagi ya yang akan kudapatkan hari ini?” gumamnya dalam hati. Cerita serakan
sampah di lantai gerbong terlalu membuatnya jenuh. Kisah hidup dari teman
duduknya selalu membuatnya lebih antusias. Mulai dari lika-liku kehidupan
seorang teknisi kapal laut, dosen, guru Bahasa Inggris yang membina para sopir
taksi di Solo, pekerja salon muslimah yang hanya lulusan SD, anggota DPRD, ahli
kimia yang bekerja di bidang alkes, guru sekaligus pebisnis batik Laweyan di
Kalimantan, hingga kekaguman orang Palu yang baru pertama kali naik kereta di
Pulau Jawa.
“Mandhap pundi, Mbak (Turun mana, Mbak)?”
sapa seorang ibu yang duduk di samping kiri Hana.
“Oh,
sama kalau begitu Mbak. Kuliah?”
“Wah,
sama ternyata. Iya Bu, kuliah. Ibu sendirian?” tanya Hana lagi.
“Tadinya
mau sama suami Mbak, tapi kebetulan sedang ada tukang yang memperbaiki rumah,
jadi bagi-bagi tugas. Kalau bukan karena berita duka dan demi menjaga
silaturahim, mungkin sekarang saya tidak naik kereta bersama Njenengan (Anda)...”
Layaknya
kisah-kisah sebelumnya, Hana merasa heran. Tak sedikit teman duduk di Prameks
yang dengan begitu ringan memulai berbagi cerita hidup kepada Hana.
Namanya
Bu Denok. Wajahnya teduh, keibuan, penuh kesabaran, terlihat cerdas, cantik,
dan makin anggun dengan kerudung putih yang menghiasi kepalanya. Ah! Inilah cerita baru yang telah Hana
tunggu. Segera ia pasang mata, telinga, juga perhatiannya demi melihat beliau yang
mulai terlihat begitu percaya dan nyaman untuk bercerita, menghabiskan waktu
perjalanan bersama Hana. Bu Denok pagi itu mendapat kabar duka bahwa buliknya
yang tinggal di Gemolong, Sragen, meninggal dunia. Bu Denok berasal dari
Gemolong, tetapi sekarang tinggal di perumahan RSS Kebumen. Kabar duka itu
beliau dapatkan bukan dari keluarga yang ada di Gemolong, tetapi justru dari
keponakan di luar kota.
“Begitulah
Mbak, setelah menikah saya ikut suami dan jarang pulang ke Gemolong kecuali
saat lebaran atau ada acara khusus. Apalagi saya sudah tidak punya orang tua.
Saudara juga sudah menyebar dengan keluarganya masing-masing. Terkadang saya
rindu dengan kampung halaman, tetapi saya paham posisi saya saat ini adalah
sebagai seorang isteri dan juga ibu dari tiga putera. Bakti saya kepada mereka
adalah yang utama..” cerita beliau.
“Anak-anak kok
nggak diajak Bu?” tanya Hana.
“Anak
saya sekolah Mbak, yang kecil kelas 9, yang sulung di Kutai kerja di pertambangan.
Alhamdulillah, sudah merasa betah dengan pekerjaannya. Yang tengah di Padang,
juga di pertambangan, tapi tidak betah gara-gara kondisi perutnya tidak bisa
menyesuaikan dengan makanan Padang,” jawabnya sambil tersenyum, membuat Bu
Denok semakin terlihat muda.
Kereta terus melaju entah sampai
mana, tetapi mereka berdua tetap melanjutkan bercerita. Dalam kisahnya, Bu
Denok menceritakan tentang masa mudanya hingga saat ini. Bu Denok muda adalah
wanita yang suka akan Matematika, menari, menyanyi, voli, karawitan, dan
sederet hobi lain. Beliau sering mewakili lomba menari dan selalu diikutkan
dalam pertandingan voli. Saat menikah, beliau ridho dengan laki-laki pilihan
pamannya, yang umurnya kurang lebih terpaut 10 tahun. Beliau hanya ingin
berbakti kepada pamannya yang selama ini telah banyak membantu kehidupan
beliau. Meski umur terpaut cukup jauh dan tentu saja banyak pola pikir suaminya
yang terkadang berbeda dengan beliau, Bu Denok tetaplah menghormati dan
berbakti kepada suaminya. Terkadang Bu Denok rindu dengan kegemarannya. Namun,
ketika suami belum mengizinkan untuk menekuni kembali hobi mudanya, Bu Denok
tak pernah membantah. Beliau selalu berpikir bahwa keluarganya lebih membutuhkan
perhatian Bu Denok. Bu Denok tidak ingin jika beliau terlalu asyik dengan
hobinya, anak-anak menjadi terlantar dan tidak terkontrol baik agama,
pendidikan, maupun pergaulannya. Beliau sadar bahwa pengaruh seorang Ibu begitu
penting dalam keluarga.
“Mbak,
apalagi sekarang teknologi makin canggih ya.. Saya itu takut kalau perkembangan
teknologi itu justru tidak digunakan semestinya. Hati-hatilah dengan HP Mbak..
Dari sebuah HP, perselingkuhan bisa terjadi, kerusakan moral anak bisa terjadi,
rumah tangga hancur. Ketika mau dibelikan HP canggih oleh anak saya, saya
menolaknya. Bukan karena apa-apa, tapi saya memilih untuk menjaga diri saya
dari hal-hal yang tidak diinginkan. Asal bisa untuk sms dan telepon, itu sudah
cukup untuk orang seperti saya. Saya ngeri
melihat ibu-ibu yang tiap hari asyik chatting
dengan teman-temannya hingga rumah tangga tak terurus, juga ibu-ibu yang suka
menggosip di rumah tetangga, saya nggak pernah ikut mbak. Saya sangat bersyukur
sekali dengan suami saya. Tidak banyak cakap, tetapi sabar, bijaksana, dan ngemong. Saya juga bersyukur memiliki 3
putera yang masih terkontrol dengan baik. Meski saya satu-satunya perempuan di
rumah, saya selalu berusaha menjadi teman bagi mereka. Anak-anak kalau ada
masalah, selalu cerita dengan saya Mbak, jarang kan anak laki-laki mau cerita dengan ibunya. Apalagi yang sulung,
sekarang sudah dewasa. Saya selalu menasihati dia agar jangan pernah menyakiti
wanita. ‘Ingatlah Ibu ketika kamu ingin menyakiti wanita’, itu yang saya katakan
pada Si Sulung. Saya nasihati agar memilih wanita yang baik, terutama agamanya.
Saya kan juga bangga Mbak kalau memiliki menantu yang baik, hehe”
Hana
tersenyum dan kagum dengan pola pikir ibu rumah tangga yang ada di sampingnya
ini.
“Bahkan
Mbak, saya sudah berusaha menjaga diri dari FB, sudah memilih untuk pakai HP
sederhana, tetap saja banyak teman laki-laki yang suka mengganggu lewat sms,
telepon. Saya tidak ingin menjadi isteri durhaka Mbak. Kalau sudah jam 9 malam,
HP saya matikan. Saya harus tegas dengan diri saya demi keluarga Mbak. Coba
kalau saya menanggapi godaan teman-teman saya, seperti apa keluarga ini
nantinya..”
“Wah,
kok saya jadi cerita banyak gini ke Mbak Hana ya, hehe. Maaf ya, tapi semoga
bisa jadi pelajaran ya Mbak. Saya suka bercerita, kelak Mbak Hana akan
mengalami sendiri. Pesan saya jagalah diri Mbak Hana sebagai seorang wanita,
baik saat lajang, sebagai isteri, maupun sebagai seorang ibu kelak. Senang
bercerita dengan Mbak Hana. Lho Mbak,
sudah sampai Balapan ternyata ya??”
Hana dan Bu Denok pun berpisah,
beliau berharap agar suatu saat Hana main ke rumahnya. Hana hanya bersyukur,
kisah Bu Denok semakin melengkapi buku kehidupannya. Prameks memang merupakan
sumber belajar kehidupan ketika kita mau membuka diri untuk menggapai setiap ilmu
kehidupan yang ada di dalamnya.
“Saya
akan berusaha menjaga diri saya sebagai seorang wanita, Bu Denok..” janji Hana
pada dirinya.
***
Amrih Mahanani, lahir di Purworejo pada 11 Februari 1990. Memiliki hobi membaca, suka akan olahraga, seni, travelling, dan anak-anak. Menuruni hobi membaca dari Bapak dan bercita-cita ingin bisa menginspirasi seperti penulis buku-buku maupun blog yang telah dibacanya. Semakin ingin berbagi inspirasi ketika dipertemukan dengan keluarga SIM UNS. Jika ingin bertukar informasi dan pikiran, bisa berbagi di FB : Amrih Mahanani, email : amrih.fathimahazzahra@gmail.com, atau blog : www.sharewithamrih.blogspot.com.
Nb:Tulisan ini diikutkan dalam EVENT MENULIS PENERBIT ELLUNAR dengan tema "Transportasi Umum" dan "Bulan"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan sahabat memberikan saran,komentar, ataupun kritik. Namun, ingat yaaa, tetap jaga kesopanan ^_^